Header Ads

Review Kajian Putusan Nomor 329K/AG/2014; Hak Anak Sebagai Ahli Waris Dalam Perkawinan Sirri

           
           Analisis tentang penolakan kasasi atas itsbat nikah atas nama AM dengan (alm.) M merupakan sebuah bahan diskusi yang sangat menarik untuk dikaji. Karena berdasarkan kasasi nomor 329K/AG/2014 yang diajukan oleh AM untuk memperbaiki itsbat nikah dengan (alm.) M dan meminta pengakuan secara hukum bahwa MIR adalah anak biologis dari buah perkawinan sirri antara AM dengan M. Pada intinya, hal ini diajukan tak lain dan tak bukan untuk mendapatkan hak pengakuan dari hukum bahwa MIR adalah anak dari hubungan perkawinan AM dan M, serta untuk mendapatkan hak waris yang telah ditinggalkan oleh (alm.) M untuk MIR.
Namun perkawinan siri ini tidak hanya di tolak itsbat nikahnya oleh negara, akan tetapi juga tidak diakui oleh keluarga besar M, yang berujung kepada tidak diakuinya MIR sebagai anak biologis atas buah perkawinan antara AM dengan M.
Oleh sebab itulah, AM, yang disini disebutkan sebagai ibu kandung MIR mengajukan permohonan itsbat nikah dan pengakuan atas anaknya, MIR, bahwa ia adalah benar anak biologis dari perkawinannya dengan M dan meminta hak waris atas anaknya dari harta yang ditinggalkan oleh almarhum ayahnya, M..
Proses berlangsungnya pengajuan permohonan ini sangat panjang hingga akhirnya berujung pada penolakan itsbat nikah oleh MA. Menurut dewan hakim, penolakan ini dilakukan karena pernikahan sirri yang dilakukan oleh AM dan M adalah pada tanggal 20 Desember 1993, yaitu setelah berlakunya UU Perkawinan tahun 1974. Itu berarti penolakan ini juga termasuk penolakan hakim terhadap pengakuan MIR sebagai anak bioligis M secara hukum, karena dilahirkan dari hasil nikah sirri, yang secara administrasi negara adalah pernikahan yang tertolak.
Memang menurut administrasi negara, tertulis jelas dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 pada BAB II Pasal 2 ayat (1) dan (2) tentang Pencatatan Perkawinan dikatakan bahwa :

1.      Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
2.      Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Dilihat dalam kedua ayat Peraturan Pmerintah di atas, sebenarnya memang pencatatan perkawinan itu sudah menjadi kewajiban bagi setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan.
Kendatipun demikian, ketidaklengkapan administrasi dalam pernikahan tidak menjadikan perkawinan tersebut menjadi tidak sah. Ikatan perkawinan itu tetap sah seperti yang tertulis dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1), yaitu Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Jadi, masalah pernikahan antara AM dengan (alm) M ini, adalah sah dimata agama, karena syarat-syaratnya tidak ada yang terlewatkan, hanya saja tidak memiliki bukti yang tertulis karena tidak dicatatkan dalam Catatan Sipil. Dan hal tersebut mengakibatkan ikatan perkawinan mereka tidak memiliki kekuatan hukum di mata hukum positiv.
Namun, ditolaknya permintaan itsbat nikah oleh MA tidak semestinya pula kesalahan dari kedua orang tuanya dilimpahkan kepada anak hasil perkawinan mereka, MIR, yang tidak mengetahui apa-apa. Karena ditolaknya itsbat nikah yang diajukan oleh AM, maka anak mereka juga mendapat imbasnya, yaitu tidak diakui oleh negara yang mengakibatkan hilangnya hak waris yang seharusnya ia peroleh dari (alm) M, ayah biologisnya.
Seharusnya keputusan dewan hakim dalam menolak status dari MIR sebagai anak biologis dari AM dan M itu dapat ditinjau ulang. Tidak semestinya kesalahan itu ditujkan kepada seseorang beserta anak-cucunya secara berturut-turut, padahal hal itu tidak mesti keturunannya mengetahui apa kesalahannya. Karena hukuman itu, tidak dapat diturunkan dan diwariskan, tidak seperti harta yang dapat diwariskan dan dipindah tangankan.
Untuk itu, untuk mencapai kemaslahatan bersama perlu ditinjau juga dalam permasalahan pembagian dan pemberian hak waris dalam KHI. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2) dijelaskan bahwa terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Karena hal itulah, wasiat wajibah menjadi tawaran hukum yang perlu dipertimbangkan untuk mencpai kemaslahatan warga negara. Meskipun tidak terdapat catatan yang jelas jika MIR adalah anak biologis atau anak angkat M, namun ilmu pengetahuan juga dapat dilibatkan untuk mengetahui kebenaran dibalik permasalahan ini, dan saya menyetujuinya.

================================================
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
       2012. (Bandung:Citra Umbara).
Faiq Tobroni. Hak Anak Sebagai Ahli Waris dalam Perkawinan Siri. dalam Jurnal Yudisial
       Vol. 8 No. 1 April 2015.

No comments

Powered by Blogger.